Catatan Reportase :
Dari Pemilu Amerika : George
Bush atau Al Gore? (2)
New Orleans, 07/11/00, 01:30 PM (08/11/00 - 02:30 WIB)
Sehabis istirahat makan siang ini saya sempatkan
membuka-buka internet untuk mengetahui bagaimana perkembangan sementara pemilu
Amerika hari ini (saya lakukan ini karena saya tertarik dengan pesta
demokrasinya rakyat Amerika).
Dari beberapa sumber yang sempat saya akses,
ternyata hasil pengumpulan suara tidak langsung dipublikasikan dari waktu ke
waktu. Hasil tercepat kelihatannya secara resmi baru dapat diketahui umum pada
Selasa sore nanti sekitar jam 05:00 PM waktu Amerika Tengah (Rabu pagi jam 6:00
WIB). Meskipun beberapa media on-line sudah mengabarkan hasil sementara di
beberapa kota di wilayah timur Amerika. Diantaranya, George Bush unggul atas Al
Gore di sebuah kota kecil Dixville Notch di wilayah negara bagian New
Hampshire. Secara tradidional kota Dixville Notch ini memang menjadi salah satu
kota pertama di wilayah Amerika timur yang mengawali coblosan.
Hingga menit terakhir sebelum hari pemilu ada
perkembangan menarik dari popularitas kedua kandidat utama presiden. Menurut
jajak pendapat yang dilansir Reuters/MSNBC, popularitas Gore berhasil
mengungguli Bush dengan 48% - 46%, sisanya diraih oleh Partai Hijau 5%, Partai
Libertarian dan Partai Reformasi masing-masing 0,5%. Sedangkan jajak pendapat
yang dilakukan USA Today/CNN/Gallup masih memproyeksikan Bush unggul atas Gore
dengan 48% - 46%, dan sisanya dipegang oleh beberapa Partai tambahan selain
Republik dan Demokrat.
Berapapun pergerakan prosentase popularitas kedua
kandidat utama ini, yang tampak jelas adalah bahwa hingga menit-menit terakhir
ini belum ada yang dapat memprediksi siapa yang akan menjadi pemenang. Dalam
sejarah pemilu di Amerika, sejak sekitar 40 tahun terakhir baru kali inilah
berbagai jajak pendapat menunjukkan perbandingan prosentase yang sangat ketat.
Berbeda halnya dengan beberapa pemilu sebelumnya,
dimana dari berbagai jajak pendapat biasanya sudah tampak perbedaan prosentase
yang signifikan sehingga sudah dapat diprediksi siapa yang bakal menang. Karena
itu pemilihan presiden kali ini menjadi menarik untuk diperhatikan, termasuk
bagi warga masyarakat Amerika sendiri.
Barangkali mirip-mirip dengan apa yang terjadi dalam
sejarah pemilu di Indonesia. Orang cenderung untuk tidak terlalu antusias
memperhatikan pemilu-pemilu dijaman Orde Baru, lha wong sudah pasti
Golkar akan menang mutlak. Berbeda halnya dengan pemilu terakhir tahun 1999
yll, orang penasaran ingin tahu apa yang bakal terjadi, karena tidak ada lagi
mayoritas tunggal melainkan adanya perimbangan popularitas partai-partai
besarnya.
***
Apa komitmen politik yang dibawa Bush dan Gore untuk
menarik simpati rakyat Amerika agar memilih mereka? Bush mengatakan : “I’m a
uniter, not a devider” (Saya adalah pemersatu, bukan pemecah-belah). Gore
mengatakan : “I will move country forward” (Saya akan membawa negeri ini
melangkah ke depan).
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah : Apakah lalu
masyarakat Amerika tertarik untuk memilih satu di antara kandidat yang ada,
atau dengan kata lain apakah semua warga negara Amerika yang berhak memilih
akan menggunakan hak pilihnya? Ini salah satu pertanyaan yang menarik, karena
selama ini kita di Indonesia seringkali menjadikan tingkat kepedulian atau
kesadaran berdemokrasi di negara maju sebagai acuan. Setiap kali kita bicara
tentang pendidikan politik atau demokrasi, seringkali menggunakan negara maju
sebagai acuannya, di antaranya ya Amerika ini.
Dalam sejarah pemilu di Indonesia, rata-rata di atas
90% warga masyarakat yang berhak memilih akan datang ke TPS-TPS untuk
memberikan hak suaranya, baik untuk memilih maupun untuk tidak memilih alias
golput. Di Amerika, bisa mencapai angka 70% adalah prestasi politik yang suuuangat
bagus. Dua pemilu terakhir, tahun 1992 dan 1996, hanya sekitar 55% dan 49% saja
warga negara yang mempunyai hak suara menyalurkan suaranya untuk memilih. Tahun
1996 adalah prosentase terburuk sejak tahun 1924.
Maka muncullah analogi berpikir coro bodon
(cara bodoh) di otak saya : kalau begitu siapa sebenarnya yang tingkat pendidikan
atau kesadaran berpolitik atau berdemokrasinya lebih tinggi? Siapa yang “lebih
sadar” dan siapa yang “lebih tidak sadar” (atau semaput) dalam berdemokrasi?
Memang tidak sesederhana itu analoginya. Sebagai
hasil pembangunan demokrasi dalam kehidupan masyarakat Amerika yang semakin
mapan, maka masyarakat Amerika menjadi cuek dengan pemilu. Siapapun
presidennya ya tidak ada bedanya, akan begitu-begitu juga dampaknya bagi
“nasib” mereka. Demikian barangkali salah satu alasan yang dimiliki oleh
separuh dari masyarakat Amerika yang berhak memilih tapi tidak menggunakan hak
pilihnya.
Kok, kedengarannya sama seperti sikap skeptisnya
para golput yang pernah ada di Indonesia. Jadi, pola kehidupan politik dan
demokrasi di negara maju dan negara berkembang apakah berarti ya sami mawon
(sama saja)?. Alasan di atas memang baru satu dari seribu yang mungkin ada.
Saya tidak tahu 999 alasan lainnya yang bisa jadi akan menggugurkan kesimpulan
di atas.-
Yusuf Iskandar
[Sebelumnya][Kembali][Berikutnya]